Saturday, June 2, 2012

Ukuran Status Sosial

Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah demikian. (Soekanto, 1990:254) Teori yang dimaksud ini mungkin benar sesuia dengan tuntunan agama, dimana setiap hamba Allah dipandang memiliki derajat yang sama kecuali dalam hal keimanan dan ketakwaan
.
Pandangan tersebut dapat berbeda di tiap masyarakat sesuai penghargaan terhadap sesuatu. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan fihak-fihak lain. (Soekanto, 1990:251)

Terkadang pandangan itu berbeda-beda pula dalam kelompok yang lebih kecil di daerah yang sama, dimana terdapat sebagian orang lebih menghargai kekayaan, dan sebagian lagi lebih menghargai keimanan dan pengamalan yang baik terhadap ilmu yang dimiliki. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 79-80 :
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ﴿٧٩﴾ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ ﴿٨٠﴾
Artinya : 79.Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” 80. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.”

a.Status sosial berdasarkan ekonomi (kekayaan) Socio economic status
Kaya dan miskin merupakan dua kata antonim yang saling berlawanan, jika seseorang sudah tidak miskin berarti orang itu dapat dikatakan kaya. Untuk dapat mengetahui orang miskin dapat diukur berdasarkan pendapatan perkapita/penghasilan masing-masing senilai kurang dari 320 kg beras pertahun. (Jondar dan Surbakti, 2003:97) Apabila harga beras Rp.5.000/kg, maka seseorang harus menghasilkan Rp.1.600.000/tahun untuk dapat dikatakan kaya.

Akan tetapi, dalam perkembangan zaman terdapat ukuran perbulan. Sebagaimana data garis kemiskinan (rp/kapita/bulan) untuk provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 di daerah perkotaan adalah Rp.234.546/kapita/bulan, sedangkan di daerah pedesaan adalah Rp.206.275/kapita/bulan. (Badan Pusat Statistik, 2011:50-51)
Dalam hal ini seorang pekerja kasar tanpa keahlian dapat dikatakan kaya. Sebagaimana data upah minimum menurut provinsi (UPM) untuk provinsi Jawa Timur pada tahun 2011, yaitu Rp.705.000/bulan. (Badan Pusat Statistik, 2011:30)

Kiranya kurang benar apabila dipandang dari segi penghasilan saja. Oleh karena itu, kemudian Jondar dan Surbakti (2003:97) melanjutkan “tolak ukur kebutuhan relatif perkeluarga yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Misalnya sewa
rumah, pendidikan anak dan sebagainya.”

Kebutuhan hidup minimum selama sebulan untuk provinsi Jawa Timur pada tahun 2007, yaitu Rp.458.755. (Badan Pusat Statistik 2009:23) Untuk kebutuhan hidup minimum ini Badan Pusat Statistik (2011:59) pada tahun 2011 menyebutnya dengan “pengeluaran rata-rata per kapita sebulan” yaitu, Rp.486.426/kapita/bulan.

Apabila penghasilan seseorang dianggap lebih untuk mencukupi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Maka, pemerintah Indonesia merasa perlu membebankan pajak untuk pemerataan kesejahteraan masyarkat. Ketetapan besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) setahun adalah :
•Wajib Pajak sendiri : Rp 15.840.000,00
•Wajib Pajak kawin : Rp 17.160.000,00
•Wajib Pajak kawin & Memiliki 1 tanggungan : Rp 18.480.000,00
•Wajib Pajak kawin & Memiliki 2 tanggungan : Rp 19.800.000,00
•Wajib Pajak kawin & Memiliki 3 tanggungan : Rp 21.120.000,00 (Direktorat Jendral Pajak, 2011:5)
Dari sini status sosial seseorang berdasarkan ekonomi dapat kita bedakan menjadi tiga tingkat, yaitu :
1.Miskin : seseorang dengan penghasilan di bawah Rp.500.000/bulan
2.Kaya : seseorang dengan penghasilan di atas Rp.500.000/bulan
3.Sangat kaya : seseorang dengan penghasilan yang melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP)

Ukuran kekayaan tersebut juga dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya. (Soekanto, 1990:263) Dimana kepemilikan barang tersebut sebagai simbol atas kemampuan ekonomi.

b.Ukuran status sosial berdasarkan pendidikan (ilmu pengetahuan)
Lembaga pendidikan seperti sekolah, pada umumnya merupakan saluran kongkrit gerak sosial vertikal. (Soekanto, 1990:280) Sehingga seseorang dapat memperoleh penghasilan lebih besar dengan tingkat kedudukan yang diusahakan.
Status sosial seseorang berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan dapat kita bedakan menjadi lima jenjang pendidikan, yaitu ; tidak tamat SD, SD (Sekolah Dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir), dan Perguruan Tinggi. (Badan Pusat Statistik, 2009:17)

Refrensi :
1. Al-Qur'an
2. Badan Pusat Statistik, 2009. Trends of Selected Socio Economic Indicators of Indonesia. Jakarta : CV Liwariz Darta Pratama
3.___.2011. Trends Of Selected Socio Economic Indicators Of Indonesia. Jakarta : TP
4.  Jondar, Aloysius dan Ramlan Surbakti. 2003. Konsep-konsep Sosiologi dan Politik. Surabaya: Lutfansah Mediatama.
5.  Soekanto, Sarjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Status Sosial orang tua

1. status sosial orang tua
Status sosial orang tua merupakan gabungan dari dua istilah yang masing-masing terdiri dari dua kata, yaitu status sosial dan orang tua. Oleh karena itu penulis memandang perlu untuk menjelaskan kedua istilah tersebut sehingga memudahkan bagi penulis dalam memberikan pengertiannya secara utuh yang mendekati kebenaran.
Dalam bahasa indonesia “status” sama artinya dengan “posisi” atau “kedudukan”. Tetapi maknanya jelas berbeda. Status berhubungan dengan stratifikasi sosial, sedangkan posisi berhubungan dengan situasi. (Gunawan, 2000:41)
Secara istilah, Jondar dan Surbakti (2003:25) mengatakan bahwa “status sosial, yaitu kedudukan individu dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat. Status sosial seseorang merupakan aspek statis berupa derajat atau tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat, dan mempunyai ciri serta perbedaan dengan status sosial yang lain.”
Sedangkan menurut Soekanto, status sosial adalah tempat (kedudukan) seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. (Soekanto, 1990:264)
Dalam istilah yang kedua, Ahmadi dan Uhbiyati (2001:117) mengatakan bahwa “orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan keluarganya di dunia dan khususnya di akhirat dari api neraka.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa status sosial orang tua adalah kedudukan berupa derajat atau tingkat yang dimiliki oleh pemimpin keluarga secara umum dalam masyarakatnya sehubungan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, kehormatannya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.

2. teori Status sosial
Perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat ikut ditentukan oleh adanya rambu-rambu atau norma-norma yang menjadi acuan untuk berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat. (Jondar dan Surbakti, 2003:25) Adanya rambu-rambu dan norma-norma tersebut menuntut seseorang yang memiliki status sosial harus mampu untuk melaksanakan peran dengan status sosial yang disandangnya, atau setidak-tidaknya dianggap pantas untuk mendudukinya.
Dalam hal ini dikemukakan beberapa kemungkinan seseorang memperoleh status sosial, yaitu :
1.Ascribed Status yaitu status sosial yang diperoleh atas dasar keturunan. Pada umumnya status ini banyak dijumpai pada masyarakat yang menganut stratifikasi tertutup.
2.Acheved status yaitu status yang diperoleh atas dasar usaha yang disengaja. Status ini bersifat lebih terbuka dimana individu dan segenap anggota masyarakat berhak dan bebas menentukan kehendaknya sendiri dalam memilih status tertentu sesuai dengan kemampuannya.
3.Assigned status yaitu status status yang diberikan kepada seseorang karena jasanya. Status ini sering mempunyai hubungan erat dengan Acheved status. (Jondar dan Surbakti, 2003:58-59)
Akan tetapi, apabila status sosial dipisahkan dari individu yang memilikinya, kedudukan hanya merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Karena hak dan kewajiban termaksud hanya dapat terlaksana melalui perantaraan individu, maka agak sukar untuk memisahkannya secara tegas dan kaku. (Soekanto, 1990:265) Oleh karena itu dimana dijelaskan tentang teori status sosial, maka dijelaskan juga tentang peran sosial.
Sebagaimana Ralph Linton (dalam Gunawan, 2000:40) yang menjelaskan bahwa “status memiliki dua arti :
1.Dalam pengertian abstrak (berhubungan dengan individu yang mendudukinya), status ialah suatu posisi dalam pola tertentu.
2.Dilihat dari arti lainnya (tanpa dihubungkan dengan individu yang mendudukinya), secara sederhana status itu dapat dikatakan sebagai kumpulan hak- hak dan kewajiban.”
Kemudian dari masing-masing status sosial individu tersebut digolongkan menjadi beberapa kelompok yang disebut kelas sosial (social class). Sebagaimana Poloma (dalam Jondar dan Surbakti, 2003:59) mengatakan bahwa “kelas sosial adalah pengelompokan orang yang menduduki posisi sosial yang sama sehubungan dengan kekuatan atau beberapa bentuk khusus dari kekuasaan, privelise, atau prestise yang terlembaga; orang-orang yang saling berhubungan satu sama lain karena kepentingan yang sama (misalnya, pemilikan kekayaan, uang).”
Mengenai masalah timbulnya kelompok sosial itu ada beberapa pendapat. Menurut William Mc. Dongall (dalam Ahmadi, 2004:78) berpendapat bahwa “kelompok sosial itu terjadi karena individu-individu terdapatlah instinct sosial, gregarious instinct, jadi merupakan manifestasi daripada instinct sosial.” Sedangkan Giddings (dalam Ahmadi, 2004:79) mengatakan, kelompok sosial itu timbul karena adanya “consciousness of kind”, kesadaran atas barang pada jiwa manusia.
John L. Gillin mengklasifikasi kelompok tersebut atas dasar fungsinya, sebagai berikut :
1.Kelompok persamaan darah (blood group), misalnya : keluarga, clan, kasta.
2.Kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental : sama jenis sexnya, sama umur, sama rasnya.
3.Kelompok Proximilitas : crowds, mobs, communitu, kelompok-kelompok teritoral.
4.Kelompok berdasarkan interest kulturil : congenialitas, ekonomi, teknologi, agama, asthetik, intelektuil, pendidikan, politik, relasi, dan sebagainya. (dalam Ahmadi, 2004:83)
Kelas-kelas tersebut dibedakan lagi menurut tingkatannya yang dinamakan sebagai stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah sejumlah orang yang sama statusnya menurut penilaian masyarakat dinamakan “stratum” (lapisan), dan penggolongan masyarakat menurut strata (kata jamak dari stratum) hierarkinya disebut stratifikasi sosial. (Mayor Polak dalam Gunawan, 2000:38) Misalkan stratifikasi dalam status sosial berdasarkan ekonomi, Aristoteles (dalam Soekanto, 1990:251) mengatakan “di dalam negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat, dan yang berada di tengah-tengahnya.” Atau seperti Plato (dalam Gunawan, 2000:40) yang “mengusulkan adanya tiga strata dalam negara, yaitu kaum filusuf, militer, serta pedagang dan petani. Kaum filusuf berada di lapisan teratas karena pandai dan berhak memegang tampuk pimpinan/pemerintahan”

Refrensi :
1.  Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. (Ed. Ke-2). Jakarta: Asdi Mahasatya.
2. Ahmadi, Abu dan Nur Urbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. (Ed. Ke-2). Jakarta: Rineka Cipta.
3. Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
4.  Jondar, Aloysius dan Ramlan Surbakti. 2003. Konsep-konsep Sosiologi dan Politik. Surabaya: Lutfansah Mediatama.
5. Soekanto, Sarjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Monday, May 7, 2012

Pengaruh Status Sosial Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Siswa (edisi revisi-4/sepenting ACC)


A. Latar Belakang Masalah

Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan, sehingga dia disebut social animal. (Soekanto, 1990:27) Manusia sebagai mahluk sosial, mempunyai ketergantungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Manusia sebagai mahluk sosial juga senang bergaul dengan teman-temannya, dan hidup bersama dalam masyarakat.


Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. (Soemardjan dan Soemardi dalam Gunawan, 2000:4). Manusia dituntut untuk mengembangkan diri sebagai makhluk sosial untuk hidup bersama masyarakat. Untuk mempelajari pandangan hidup bermasyarakat, manusia hidup bersama pertama-tama dalam bentuk yang lebih kecil atau miniatur dari pada masyarakat. Sebagaimana Ahmadi dan Uhbiyati, (2001:65-66) mengatakan : “Keluarga merupakan miniatur dari pada masyarakat dalam kehidupan anak, maka pengenalan kehidupan keluarga sedikit atau banyak pasti akan memberi warna pada pandangan anak terhadap hidup bermasyarakat. Dan juga corak kehidupan pergaulan di dalam keluarga akan ikut menentukan atau mempengaruhi perkembangan diri anak.”


Keluarga merupakan kunci sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. (J.
Good dalam Hasyim dan Simamora, 1985:162) Artinya, kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara pada masyarakat besar, sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar.



Keluarga itu terdiri dari pribadi-pribadi, tetapi merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Sebab itu kita selalu berada dibawah pengawasan saudara-saudara kita, yang merasakan bebas mengkritik, menyarankan, memerintah, membujuk, memuji, atau mengancam, agar kita melakukan kewajiban yang telah ditetapkan kepada kita. Laki-laki yang telah mencapai kedudukan tinggi biasanya menyadari bahwa sekalipun mereka pernah tetap tunduk terhadap kritik orang tua, tetapi akan tetap marah dan terluka jika dihina saudaranya. (J. Good dalam Hasyim dan Simamora, 1985:4) Jelasnya bahwa orang tua lebih memiliki peranan dan pengaruh bagi seorang anak dalam keluarga, dari pada saudara-saudaranya.


Dalam kehidupan keluarga, ayah sebagai kepala keluarga lebih besar tanggung jawabnya untuk memberi nafkah, memberi pakaian, membimbing, dan hal lain yang dibutuhkan. Sedangkan peran ibu adalah membantu tanggung jawab ayah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti : mengatur rumah tangga, menyediakan makanan, merawat, mempersiapkan sarapan, pakaian dan sebagainya.


Biasanya adalah ayah yang wajib mencari penghasilan. Seorang ibu, apabila penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Yang jelas adalah bahwa pola pendidikan anak mengalami perubahan. Sebagian dari pendidikan anak-anak benar-benar diserahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan diluar rumah seperti di sekolah. (Soekanto, 1990:413) Di Indonesia memang hampir dapat dikatakan mengenai urusan pendidikan sepenuhnya diwakilkan ke sekolah. Pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang diberikan di sekolah, merupakan kelanjutan dari apa yang diberikan dalam keluarga. Seperti halnya orang tua, guru di sekolah selain bertugas untuk mengajar, juga memiliki peran sebagai pengganti orang tua dalam mendidik siswa-siswinya.

Pada diri siswa terdapat kekuatan mental yang menjadi penggerak belajar. Sebagaimana Dimyati dan Mudjiono (2006:80) yang mengutip dari  Koeswara, Siagian, Schien, Biggs dan Telfer mengatakan bahwa “siswa belajar karena didorong oleh Kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut dapat tergolong rendah atau tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar.”

Dari uraian diatas, motivasi belajar sepertinya merupakan modal pokok untuk dapat meraih sukses dalam belajar. Banyak cara untuk mendapatkan motivasi ini, namun yang mungkin paling menentukan motivasi belajar tersebut adalah motivasi dari orang tua.

Orang tua siswa yang berstatus sosial ekonomi tinggi, tidaklah banyak mengalami kesulitan untuk membeli buku-buku pelajaran, pensil, penggaris yang diperlukan dalam belajar. Siswa yang berasal dari keluarga kaya lebih mempunyai kesempatan untuk berkreasi dan dapat terpenuhi kebutuhannya. Selain itu, orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga memungkinkan untuk lebih percaya diri pada kemampuan mereka untuk membantu anak-anak mereka dalam proses belajar.


Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita temukan adanya kesenjangan sosial orang tua yang berakibat pada pendidikan yang seharusnya dimiliki anak. Misalnya, pendidikan anak cenderung terbengkalai apabila orang tua sibuk dengan pekerjaannya. Seperti halnya anak seorang perantau atau anak dari TKI yang meninggalkan anak di negeri asalnya. Selain status pekerjaan orang tua ada juga status pengalaman dan keilmuan orang tua yang berpengaruh pada keberhasilan siswa dalam belajar. Contoh: Siswa yang berasal dari keluarga yang orang tuanya berstatus sarjana. Kedisiplinan belajar mereka dalam pendidikan lebih diperhatikan. Misalnya, anak dari seorang guru mempunyai jadwal tertentu untuk belajar dirumah dan diberi waktu khusus untuk keluar rumah. Sedangkan anak yang orang tuanya hanya berijazah SD atau yang tidak sekolah sama sekali kurang memperhatikan kedisiplinan anak dalam belajar.


Ketika orang tua yang status ekonomi rendah tidak mampu memenuhi biaya kebutuhan dalam proses belajar anak seperti buku pelajaran. Serta orang tua yang status pendidikan rendah kurang memberi bimbingan dan pembinaan dalam proses belajar anak. Hal ini tentu mempengaruhi terhadap motivasi anak dalam belajar.


Refrensi :
1.  Ahmadi, Abu dan Nur Urbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. (Ed. Ke-2). Jakarta: Rineka Cipta.
2.  Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. (Ed. Ke-3). Jakarta: Asdi Mahasatya.
3. Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:  Rineka Cipta.
4   J. Good, william  Tanpa tahun. Terjemah oleh Hasyim, Lailanoum dan Sahat Simamora. 1985. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara
5. Soekanto, Sarjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo Persada.